Bible Universe
separator

Mahalnya Harga Salib

Mahalnya Harga Salib

Perkenalan

Setelah bencana kekalahannya di Waterloo, Napoleon menurut kisahnya mengadakan pertemuan dengan para jendral pemimpin pasukannya untuk menganalisa kesalahan strategi peperangan. Dalam diskusinya jendral muda itu menunjuk kepada Inggris di peta berwarnanya di hadapan mereka dan mengatakan kepahitannya, “kalau saja bukan karena titik merah itu saya tentunya akan jadi penguasa dunia.” Setan juga dapat mengatakan hal yang sama saat ini, kecuali saat dia menunjuk pada sebuah salib pada sebuah bukit di luar kota Yerusalem kuno. Apakah Anda bersyukur atas titik merah Kalvari tersebut yang menyelamatkan dunia ini dari dikuasai oleh musuh besar kita?

Itu adalah tempat, waktu dan kontes yang menetapkan takdir planet bumi. Setan telah menjadi lawan yang telah ditaklukkan semenjak saat itu. Di sanalah dia menemui Waterloo-nya dan menderita kekalahan yang menentukan, yang mana dia tidak akan pernah pulih.

Berapa banyak dari kita memahami makna sebenarnya dari penderitaan dan kematian Kristus di kayu salib tersebut. Kita hanya memiliki pemahaman yang kabur mengenai konflik yang Dia lalui dan penderitaan kematian yang Dia alami. Andai kata mata kita boleh dibukakan untuk menggenggam kepentingan sejati dari pengorbanan-Nya, tentunya tidak akan ada lagi kolaborasi menyedihkan dengan Setan. Kelemahan kita akan berubah menjadi keberanian dan kemenangan.

Para penulis Alkitab bergumul untuk menjelaskan dalam bahasa manusia rahasia inkarnasi dan kematian pendamaian dari Sang Putra Tuhan. Sering kali kita terharu oleh kuasa dari kesaksian mereka yang menginspirasi. Kita memperoleh kilasan yang menusuk pikiran kita, tetapi tetap kita hanya menengok permukaan dari sebuah subyek yang akan terus dinyatakan sepanjang kekekalan.

Paulus menuliskan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:5-8). Perkataan luhur ini menggambarkan bagaimana Yesus meninggalkan takhta kepada palungan lalu menuju kayu salib.

Tidak ada satu ilustrasipun dalam jangkauan waktu dan ruang yang luas yang dapat menggambarkan dengan tepat apa yang Yesus lakukan. Terkadang kita coba membuat situasi yang dapat dibayangkan untuk menyatakan ide pengorbanan-Nya. Sebuah paket anjing-anjing liar digambarkan dipenuhi kurap dan bisul. Dinyatakan bahwa jika seorang manusia mampu menanggung penderitaan seekor anjing saja, seluruh anjing dalam paket itu dapat diselamatkan dari kematian yang mengancam. Akankah ditemukan seseorang yang rela meletakkan kemanusiaannya, dan menderita pengakuan yang tidak terbayangkan menjadi seekor anjing? Dramatis mungkin terdengarnya, itu adalah ilustrasi lemah dari Putra Tuhan yang dipermalukan. Kita tidak dapat bahkan mencerna kemuliaan dan posisi yang mana Dia tinggalkan saat Ia mengosongkan diri-Nya dan menjadi bagian dari keluarga Adam yang terkutuk kematian.

Inilah mengapa begitu susahnya bagi umat Kristen untuk mencerna pendamaian. Mengapa begitu banyak orang menganggap biasa saja peristiwa penyaliban? Tentunya karena mereka tidak memahami bahwa harga keselamatan mereka adalah Putra Tuhan sendiri. Adalah saat kita mengerti nilai dari sesuatu barulah kita mulai menghargainya. Kita menilai sesuatu sebagai yang paling berharga karena itu memerlukan investasi yang terbesar.

Setiap dari kita telah menemui orang-orang yang memperlihatkan sebuah ketidakpedulian membingungkan terhadap pengorbanan Kristus. Di akhir salah satu seri penginjilan saya, saya mengunjungi seorang pengusaha yang telah datang tiap malam tetapi tidak membuat komitmen. Kita telah mengembangkan sebuah pertemanan yang hangat selama seri penginjilan empat minggu tersebut, jadi saya merasa berani untuk bertanya padanya mengapa dia tidak membuat keputusan bagi Kristus. Jawabannya yang tidak jelas memberi tanda pada saya bahwa dia tidak memahami keseriusan menerima anugrah keselamatan. Dia tidak pernah membuat tanggapan apapun untuk injil, dan atas pertanyaan saya yang lembut dia mengaku bahwa dia tidak memiliki jaminan diselamatkan. Akhirnya saya bertanya kepadanya dengan terus terang, “Apakah maksudmu Sam, bahwa jika kamu meninggal malam ini, kamu tidak akan punya pengharapan kehidupan kekal?” Dia menjawab, “Tidak demikian, saya tidak pernah membuat pengakuan kekristenan apapun.”

Terkejut oleh ketidakpeduliannya yang jelas, saya mengumpulkan keberanian untuk mengajukan pertanyaan: “Sam andai kata Anda dapat memperoleh 10.000 dollar besok pagi dari bankir Anda sebagai ganti sebuah kertas yang mengandung tanda tangan sepuluh orang di kota ini. Akankah kamu bersedia untuk berkendara keliling kota malam ini dan memperoleh tanda tangan tersebut?” Dia menjawab: “Sudah barang tentu saya mau.”

“Akankah kamu meresikokan kekurangan satu tanda tangan di kertas tersebut?” Saya bertanya sekali lagi. “Tentu tidak,” ungkap Sam, “saya tahu barang bagus saat melihatnya.”

Kebenarannya adalah Sam tidak mengenali sebuah barang bagus saat melihatnya, dan saya merasa terdorong untuk memberitahu dia selembut mungkin saya bisa. Saya katakan, “Sam, kamu tidak ingin kehilangan kemungkinan sedikitpun akan kehilangan 10.000 dollar antara malam ini dan besok pagi: tetapi kamu menyatakan bahwa kamu meresikokan kehilangan kehidupan kekal kalau kamu meninggal malam ini. Kamu menghargai uang lebih daripada kehidupan abadi. Penilaianmu salah. Kamu tidak bayangan samar sedikitpun apa harga yang harus dibayar untuk keselamatanmu, kalau tidak kamu tidak akan menilainya sedemikian rendah.”

Adalah mudah untuk melihat kenapa teman saya begitu tidak berkomitmen terhadap salib Kristus. Meskipun dia berada di sekitar lingkungan Kristen sepanjang hidupnya dan telah mendengar ratusan khotbah, dia memegang pandangan semacam martir mengenai kematian Yesus. Tidaklah benar bahwa Ia mati seperti ribuan lainnya yang disalibkan di kayu salib di luar tembok Yerusalem. Tidak ada jumlah siksaan atau kesakitan yang dapat menghasilkan penderitaan di salib. Sementara yang lain mengalami penderitaan badani yang sama, tetapi tidak ada yang mati karena sebab yang sama dengan yang mengambil nyawa Putra Tuhan. Kematian-Nya berbeda. Di mana perbedaannya?

Kematian semacam apa yang Ia alami? Alkitab mengatakan bahwa “supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.” Pikirkan itu sejenak. Dia menderita kematian saya dan Anda, dan setiap orang. Bagaimana bisa demikian? Akankah kita tidak akan mengalami kematian kita sendiri di akhir hidup kita? Tentunya kita akan mengalaminya. Dan disitulah letak misteri dan kekaguman akan apa yang Ia telah lakukan bagi kita. Dia tidak menggantikan tempat kita dalam melewati kematian yang pertama. Ia mengalami kematian yang kedua bagi setiap jiwa yang pernah dilahirkan.

Penting bagi kita untuk membedakan kematian yang pertama dan yang kedua. Hanya dengan demikian barulah kita dapat memahami kenapa Bapa berpaling dari Putra-Nya di kayu salib. Para malaikat tidak diizinkan untuk melayani Dia. Yesus harus diperlakukan seakan Ia bersalah untuk setiap dosa yang ada yang pernah dilakukan. Di bawah beban penghakiman dan rasa bersalah itu, Dia meneteskan keringat darah dan jatuh lemas ke tanah di taman. Di bukit Golgota, terputus dengan keberadaan Bapa-Nya, Dia berseru dalam penderitaannya, “Tuhan-Ku, Tuhan-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Matius 27:46.

Apakah Anda mulai melihat apa yang dilewatkan Sam? Dia tidak merasakan penderitaan sesungguhnya di kayu salib, karena itu tidak memiliki pemahaman yang benar mengenai harga keselamatan. Kita harus mencoba untuk memaparkan beberapa “nilai tersembunyi” tersebut yang Sam tidak kenali, dan yang mana banyak orang saat ini tidak nilai sepatutnya.

Paulus menulis, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Roma 5:12. Beberapa pertanyaan mendasar dikemukakan atas perkataan Paulus ini. Kalau hanya satu orang yang berdosa, mengapa semua orang harus mati? Apakah orang harus membayar upah dosa orang lain? Saat Adam di taman Eden dia mewakili semua manusia yang akan dilahirkan. Sebagai kepala dari ras manusia dia berdiri di hadapan Tuhan seakan dia adalah semua orang. Anda dan saya berada di sana, diwakili oleh gen dan kromosom yang kemudian menghasilkan pola warisan anak-anak Adam. Sebagai yang turut ambil bagian tubuh dan pikirannya, semua keturunannya terpengaruh atas apa yang mempengaruhi dia. Dia adalah nenek moyang kita, dan ada hukum warisan yang menghasilkan kembali pola genetik tersebut dari waktu ke waktu.

Apakah yang terjadi pada Adam yang mempengaruhi anak-anaknya? Tuhan menempatkan sebuah ujian di taman eden awalnya. Ujian itu sederhana dan jelas: menurut dan hidup, tidak menurut dan mati. Kita ingat dengan baik kisah mengenai pohon di tengah taman. Tuhan berkata, “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." Keberlangsungannya di atmosfir sempurna Eden tergantung atas penurutan. Masa depan Adam yang bahagia bersyarat dengan tidak memakan buah pohon terlarang tersebut, tetapi dia tidak menuruti syarat tersebut.

Tidak ada yang dilakukan untuk menyingkirkan upahnya atau meringankannya. Masalahnya super jelas: menurut dan hidup, tidak taat dan mati. Pada saat dia berumur 930 tahun penghakiman itu terlaksana, dan Adam meninggal dan dikuburkan.

Semua anak-anak Adam dilahirkan seturut rupanya dan telah rusak lewat dosa. Mereka hanya dapat mewarisi hanya apa yang ayah mereka dapat berikan, jadi mereka dilahirkan dengan kecenderungan berbuat dosa. Tolong dicatat bahwa mereka tidak mewarisi dosa orang tua mereka, tetapi hanya kecenderungannya yang suka berbuat dosa. Tidak ada itu dosa warisan, dalam artian bahwa keturunan Adam bertanggung jawab untuk dosanya. Adalah benar bahwa mereka juga dapat mati seperti halnya Adam, tetapi kematian mereka bukanlah penghakiman atas dosa Adam. Mereka mati karena mereka telah menerima sebuah kecenderungan alamiah lewat hukum warisan. Kematian mereka diakibatkan dari konstitusi yang merosot yang Adam alirkan kepada keturunannya. Hanya kematian Adam saja yang menjadi hukuman atas dosanya.

Dari semenjak saat dosa menjadi sebuah kenyataan yang menetap, setiap manusia yang pernah hidup dapat mengalami kematian yang pertama. Bahkan pada kenyataannya kalau Tuhan tidak turut campur tangan, itu akan menjadi kematian kekal. Ujian Adam berakhir saat dia berdosa. Sejauh menyangkut tawaran hidup yang pertama, itu sudah selesai. Dia telah kehilangan semua harapan untuk hidup atas proposal yang telah Tuhan nyatakan. Sekarang hanya kematian yang menunggu dia – sebuah kematian akhir tanpa pengharapan. Dan kalau Tuhan tidak melakukan sesuatu, itulah akhir bagi Adam dan semua keturunannya.

Tetapi segera setelah Adam berdosa dan sebelum penghakiman dilaksanakan sepenuhnya, Tuhan memperkenalkan rencana keselamatan lewat keturunan si perempuan dan memberikan Adam sebuah ujian baru (Kejadian 3:15). Kesempatan kedua ini bersyarat atas penerimaan seorang Juru Selamat yang akan menanggung penalti manusia lewat kematian-Nya sendiri. Sebuah harapan baru dikemukakan pada Adam dan semua keturunannya melalui rencana ini, tetapi itu tidak mengubah akibat kejatuhan di ujian yang pertama.

Itu membawa kita pada pertanyaan yang sangat penting. Bagaimana Tuhan dapat memegang integritasnya dengan membawa penalti kegagalan yang pertama, dan tetap memberikan tawaran sebuah kehidupan baru bagi semua orang lewat kesempatan yang lain? Tuhan menjawab dilema membingungkan tersebut dengan sebuah cara sederhana yang membuat kita terpana. Dia akan izinkan manusia hidup dalam usianya yang terbatas lalu mati, tidak peduli mereka melakukan kebaikan ataupun kejahatan. Kematian pertama ini akan menjawab konsekuensi Adam karena gagal dalam ujian yang pertama. Lalu memberi kesempatan setiap orang dibangkitkan dari kematian yang pertama tersebut, yang mana mereka jatuh bukan lewat kesalahan mereka sendiri, dan mengizinkan mereka berdiri di hadapan Tuhan untuk dosa-dosa pribadi mereka, yang mana mereka bertanggung jawab. Lalu takdir mereka akan ditentukan atas dasar kesempatan yang kedua (antara kelahiran dan kematian yang pertama), dan bagaimana mereka memenuhi kondisi keselamatan melalui Kristus.

Kalau mereka ditemukan bersalah karena kegagalan pribadi dari ujian yang kedua, mereka akan menderita hukuman yang sama yang Adam hadapi – kematian. Akan tetapi dalam kasus ini tidak ada kesempatan lainnya, dan kematian mereka akan menjadi kematian kedua – final, pembinasaan kekal.

Sekarang kita dapat lebih memahami perkataan Rasul Paulus, “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15:22). Rencana keselamatan menyangkut sebuah kebangkitan semua orang dari kematian yang pertama, sehingga mereka boleh ditempatkan di luar pengaruh dosa Adam. Ini penting supaya mereka dapat dihakimi atas dasar tindakan dan pilihan pribadi mereka. Akan tetapi kalaupun setelah penghakiman Adampun ditemukan layak mati, itu bukanlah karena ia makan buah tersebut, tetapi karena dosa-dosa lain yang dilakukan setelah kejadian tersebut tidak diakui dan ditinggalkan.

Beberapa orang mungkin menuduh Tuhan semena-mena dan kejam, karena membangkitkan kembali orang jahat hanya untuk membinasakan mereka kembali dalam lautan api. Kenapa tidak biarkan saja mereka tetap berada di bawah kuasa kematian yang pertama? Itu tidak akan memenuhi kondisi yang dipersyaratkan oleh kesempatan yang kedua. Kematian yang pertama bukanlah penghakiman bagi dosa keturunan Adam. Keadilan memerlukan agar setiap individu bertanggung jawab memenuhi kondisi keselamatannya sendiri. Itu bukan tanpa alasan dari pihak Tuhan, tetapi sebuah pemenuhan standar keadilan ilahi.

Dengan pemahaman apa itu kematian pertama dan kedua, kita siap untuk menyelidiki peran Adam yang pertama dan Adam yang kedua. Seperti halnya seluruh ras manusia diwakili oleh Adam di taman Eden, demikian juga setiap manusia akan diwakili oleh Yesus, Adam yang kedua. “Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.” (Roma 5:18,19).

Seperti yang telah kita pelajari, bahwa apa yang terjadi pada Adam yang pertama mempengaruhi semua mereka yang ia wakili. Sekarang kita diberitahu oleh Paulus bahwa pengalaman Adam yang kedua akan secara langsung mempengaruhi setiap orang. Yesus Sang Pencipta menjelma menjadi manusia, dan berdiri di hadapan Tuhan seakan Dia adalah setiap orang. Inilah kenapa Paulus berkata, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” Galatia 2:19. “kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan” Roma 6:4. “sama seperti Kristus telah dibangkitkan… demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Roma 6:4. Hidup manusia terhubung dengan erat dengan kehidupan Kristus.

Karena Yesus datang menebus kegagalan Adam yang pertama, Ia harus melakukannya dalam kedagingan yang sama yang manusia miliki saat Dia dilahirkan. “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya,” Ibrani 2:17. Apabila Ia memiliki keunggulan supernatural di atas saudara-saudaranya dalam menaklukkan dosa, Yesus akan mendukung tuduhan Setan atas ketidakadilan. Tuhan telah dituduh memberikan syarat penurutan yang tidak masuk akal bahkan mustahil. Kristus datang untuk membuktikan kesalahan tuduhan palsu Setan dengan menggenapi persyaratan Tuhan dalam alamiah manusia yang sama yang manusia bisa dapatkan lewat iman kepada Tuhan.

Adalah kemenangan sempurna Kristus atas dosa dan kematian yang menyediakan dasar dari semua keselamatan. Semua keturunan Adam ada di bawah pengaruh kelemahan dan kegagalannya, membuat hal itu mustahil bagi mereka semua untuk menuruti hukum Tuhan. Dalam keluarga Adam yang sekarat dan di bawah penghakiman, mereka binasa dalam pergumulan dan kekalahan berkelanjutan. Tetapi kemenangan Adam yang kedua membuka sebuah pintu keselamatan bagi keluarga Adam yang pertama.

Adam yang pertama hidup atas hasil dari tindakan keberdosaannya lewat kelahiran fisik – kelemahan, dosa dan kematian. Adam yang kedua hidup atas hasil pengalaman-Nya yang tanpa dosa lewat kelahiran rohani – mengambil bagian alamiah keilahian, menang, dan hidup kekal. Semua akibat kegagalan Adam yang pertama secara utuh dinetralkan oleh Adam yang kedua. Tolong jangan lewatkan poin bahwa seseorang dapat bergabung dengan keluarga yang baru lewat sebuah kelahiran rohani. Lewat iman dalam Kristus sebuah ciptaan yang baru terjadi, mengangkat manusia keluar dari ketidakberdayaan, status fana keluarga Adam. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”

Perubahan keluarga adalah salah satu berkat yang jarang dipahami dalam pengalaman Kekristenan. Itu bukan sebuah teori atau transaksi mistis tanpa hasil praktis. Seperti halnya transformasi alam adalah nyata secara dramatis, demikian juga hak istimewa menjadi anggota keluarga yang baru juga nyata. Salah satu hal terberat bagi orang Kristen yang baru dilahirkan adalah untuk menerima perubahan penuh posisi, otoritas, dan kepemilikan di bawah peraturan keluarga yang baru. Mereka sekarang berhak atas semua kekayaan dan keunggulan menjadi anak-anak Tuhan.

Janji yang luar biasa termasuk dalam hubungan rohani yang baru ini. “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus.” Roma 8:16,17. Mudah memahami kenapa pikiran manusia meragukan konsep ini. Kita cenderung menyelidiki akan pesan tersembunyi dan arti rahasia dalam ayat seperti ini. Ahli waris bersama artinya seseorang yang memiliki hak yang sama atas semua milik keluarga. Kita tanyakan pada diri kita sendiri bagaimana mungkin dapat tiba-tiba menjadi pewaris dari kekayaan yang tidak terbatas tersebut. Dari kemelaratan total sekarang kita berhak atas alam semesta! Kepemilikan Tuhan termasuk galaksi dan planet-planet di ruang angkasa. Dengan iman kita mencoba untuk memegang kenyataan: Yesus dan saya saling berbagi kekayaan rohani yang sama dari Sang Bapa. Apapun yang Dia terima, kita juga menerimanya. Paulus menggambarkan sumber daya tanpa batas dari hidup yang dipenuhi Roh Kudus dalam perkataan ini: “supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” Efesus 3:19. Siapa dapat memahami bahasa demikian? Tuhan yang Maha Besar dan Pengasih yang menciptakan kita, dan yang menyerahkan Putra-Nya yang tunggal untuk wafat bagi kita, sekarang mau agar kita memiliki segalanya yang dimiliki Putra-Nya, dan juga semua yang Ia miliki.

Sejalan dengan asset mengejutkan seorang Raja, kita juga mewarisi nama keluarga dan kemiripan keluarga. Kita mulai terlihat seperti Bapa kita yang baru dan Kakak tertua kita. “dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.” Kolose 3:10. Pada awalnya Adam diciptakan seturut gambar Tuhan, dan disebut “anak Tuhan.” Dalam kitab Kejadian kita baca, “Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Tuhan;… Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya [gambar Adam sendiri].” Kejadian 5:1-3.

Seperti ayah dan anak. Adam terlihat seperti Tuhan, tetapi kemiripan karakter tersebut hilang oleh karena dosa. Jadi karakter anak Adam tidak terlihat seperti Tuhan, dia terlihat seperti Adam. Tetapi dari kelahiran yang baru, manusia mulai kehilangan fitur Adam dan mulai terlihat seperti Dia yang menciptakan mereka, yaitu Yesus. Apakah kemiripan ini nyata ataukah imajinasi? Apakah Tuhan hanya membuat sebuah ilusi untuk membuat terlihat seakan bahwa manusia sedang dipulihkan pada gambaran ilahi, ataukah Dia dengan kuasa-Nya menyediakan untuk perubahan itu terjadi? Ada sebuah debat teologia apakah kebenaran Tuhan hanya dianggap menjadi milik manusia atau sungguh diberikan juga. Mereka yang merasa bahwa manusia hanya dianggap benar, tidak percaya bahwa dia sungguh dapat mengalahkan dosa dan hidup sebuah kehidupan yang kudus, bahkan dalam Kristus. Tetapi perkataan Paulus sangatlah jelas, “demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.” Roma 5:19.

Sejalan dengan keserupaan keluarga, kelahiran baru rohani ini membawa keselamatan dari kematian yang kedua, yang tidak terhindarkan di bawah alamiahnya Adam. Kristus tidak merubah hukuman kematian yang pertama atas kegagalan Adam saat ujian yang pertama, tetapi Ia menghapuskan kematian kedua bagi semua mereka yang menerima Dia di kesempatan yang kedua. Ini hanya mungkin karena Ia tunduk untuk menerima hukuman mengerikan kematian kedua menggantikan manusia. Dia menjadi penebus dosa kita dan dengan sukarela menerima ganjaran yang mana dosa perbuat. Di kayu salib, tanpa seberkas terang pengharapan dari Sang Bapa, Yesus diselimuti dalam kegelapan dari jutaan milyaran jiwa yang tersesat. Dia mengalami kematian bagi setiap orang. Ibrani 2:9.

Apakah mudah bagi Yesus menjalani pengalaman semacam itu? Apakah mudah bagi Bapa untuk memalingkan pandangan-Nya dari Putra-Nya yang terkasih dan memperlakukan-Nya seakan Dia bersalah untuk penghujatan dan kejahatan yang mengerikan? Hanya satu orang di dunia yang pernah mendekat untuk memahami penderitaan hebat Bapa dan Anak dalam situasi tersebut. Orang itu adalah Abraham yang menyerahkan anaknya juga, dan menjadi manusia pertama untuk turut merasakan penderitaan salib.

Paulus menulis bahwa, “Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham.” Galatia 3:8. Yesus juga mengenali bahwa Abraham mendapat wahyu khusus mengenai pendamaian. Ia mengatakan, “Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita." Yohanes 8:56.

Untuk memahami bagaimana pendahulu Perjanjian Lama ini memiliki wawasan nubuatan atas pekerjaan Mesias, kita harus kembali melihat pengalamannya di gunung Moria. Karena dia awalnya tidak mempercayai bahwa Tuhan dapat memberi baginya seorang putra dari rahim Sarah yang sudah mati, Abraham diberi ujian lainnya menyangkut hidup dan mati. Tuhan memerintahkan dia untuk mengorbankan putranya satu-satunya di mezbah. Catatan perjalanan kesepian itu ke gunung Moria adalah salah satu dari kisah paling mengharukan dalam Firman yang kudus.

Abraham tidak meragukan validitas perintah tersebut. Dia adalah sahabat Tuhan dan telah belajar untuk mendengarkan suara-Nya. Tidak dapat dipahami Abraham alasan dari perintah aneh tersebut. Janji tersebut telah dikonfirmasi berulang-ulang bahwa Ishak adalah keturunan yang mana lewat dia Mesias akan dilahirkan. Sekarang dia diminta untuk mengambil nyawa anak yang didapat di usia tuanya, yang mana lewat keturunannya dunia akan diberkati dan ditebus. Bagaimana bisa Juru Selamat muncul dari Ishak jika dia harus dikorbankan di mezbah?

Pada saat ayah dan anak itu sampai di kaki gunung, iman Abraham dengan tegas menyatakan kuasa membangkitkan Tuhan. Dia berkata kepada bujangnya, "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu." Kali ini tidak ada kegoyahan yang melemahkan atas janji yang tampak mustahil tersebut. Tidak ada kebangkitan dari kematian pernah terjadi, tetapi Abraham percaya bahwa Tuhan akan memenuhi janji-Nya mengenai keturunan Ishak.

Saat Abraham mengangkat pisau atas anaknya yang tunduk, dia berhadapan dengan ujian paling berat yang pernah dihadapi seorang manusia. Akan menjadi sangat mengerikan untuk mengambil nyawa anaknya sendiri, tetapi dengan sebuah hujaman pisau dia hendak menghancurkan satu-satunya harapan keselamatan bagi dirinya dan setiap orang yang pernah dilahirkan. Tidak ada yang lain kecuali Yesus yang akan memegang takdir dunia dalam genggamannya seperti halnya Abraham pada momen tersebut. Itu lebih dari ujian kasih seorang ayah. Dengan mengorbankan Ishak, Abraham mencabut keberadaan seorang Juru Selamat dunia. Pisau itu berada pada tenggorokannya juga. Firman Tuhan yang tidak pernah gagal telah memastikan kepadanya bahwa tidak ada Mesias dapat dilahirkan tanpa Ishak. Apakah Anda mulai melihat hal berat dari ujian Abraham? Tidak heran Yesus berbicara bahwa Abraham bersukacita melihat hari-Nya.

Meskipun tangannya dicegah dan Tuhan menyediakan korban yang lain, Abraham sungguh menyerahkan anaknya pada hari itu. Dia merasakan semua derita, remuk hati dan kengerian yang menerpa atas kematian anaknya satu-satunya. Meski Tuhan memiliki kuasa untuk menyelamatkan hidup anaknya, tetapi Ia tidak menggunakannya. Tuhan turut campur hanya setelah nampak jelas bahwa Abraham tidak sungkan untuk menyerahkan Ishak. Puji Tuhan untuk iman Abraham, dan iman yang sama dan penurutan putranya yang kekasih. Tidak seorangpun dapat melewatkan pengaruh kisah manusia yang mengharukan tersebut. Itu membawa kasih dan pengorbanan pendamaian pada pemahaman setiap keturunan Adam. Sekarang kita dapat mengenggam sedikit lebih baik bagaimana Sang Bapa dan Putra tunggal-Nya menderita di salib. Harga penebusan menjadi lebih jelas.

Tetapi sekarang kita harus mempertimbangkan aspek lain dari drama surgawi ini yang akan lebih menerangi kasih dan pengorbanan Tuhan. Bagaimana bisa kematian dari seseorang, Adam yang kedua menyediakan pengampunan bagi semua yang telah berdosa? Alkitab mengatakan, “dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Ibrani 9:22. Pertanyaannya adalah, Bagaimana kematian Kristus membuat Dia mampu untuk mengampuni dosa? Ini membawa kita pada inti dari apa yang kita pelajari sejauh ini. Adalah penting bagi Yesus untuk menderita kematian yang kedua agar boleh memperoleh kuasa untuk mengampuni.

Benih dari semua pengampunan berakar dalam tindakan penggantian. Siapapun yang mengampuni orang lain harus menggantikan dirinya sendiri bagi dia yang diampuni, dan rela menerima akibat konsekuensi kesalahan tersebut. Misalnya, kalau saya memaafkan hutang seseorang, saya harus siap mengalami kerugian. Kalau saya memaafkan sebuah pukulan, saya harus bersedia untuk menderita sakit karenanya, tanpa mengharuskan orang yang memberikannya diberi hukuman.

Keadilan mengharuskan bahwa setiap pelanggar dikenakan sebanding dengan apa yang dia lakukan: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Orang yang memukul harus menderita pukulan yang sama sebagai imbal balik. Pengampunan, meskipun membebaskan si pelanggar dari menerima apa yang seharusnya layak ia terima. Si pengampun menerima akibatnya sendiri agar orang yang bersalah dapat bebas tanpa hukuman. Demikian maka jelas ada sebuah substitusi dari orang yang tidak bersalah bagi orang yang bersalah dalam setiap tindakan pengampunan.

Sebagai demonstasi lebih jauh mari kita bayangkan bahwa seorang yang terbunuh dapat mengampuni pembunuhnya. Dia akan secara otomatis mengizinkan kematiannya agar si pembunuh tidak akan mendapat hukuman. Dengan menerima hasil pelanggaran terhadap dia, dia memperkenankan kematiannya sendiri untuk memuaskan penalti yang secara legal dapat diberikan pada si pembunuh.

Ilustrasi ini membawa kita sangat dekat pada inti dari pendamaian. Kita berurusan di sini dengan penyesuaian kembali hubungan yang retak. Itulah pendamaian sejatinya. Dua pihak selalu terlibat, orang yang dirugikan dan si pelaku kesalahan. Dalam kasus ini adalah Tuhan yang dirugikan, manusia yang berdosa terhadap Dia. Keadilan meminta hukuman yang setimpal untuk dosa. Hanya dua jalan yang mungkin: antara keadilan akan memberikan tepat hukuman yang sudah dinyatakan, atau harus ada pengampunan dari pihak yang dirugikan. Kalau pengampunan diberikan, orang yang mengampuni harus dapat menerima akibat dari dosa, dan menderita atas kesalahan tersebut. Upah dosa adalah maut. Jadi agar dapat memberikan pengampunan kepada pendosa, Yesus harus bersedia untuk menerima di tubuh-Nya sendiri hukuman yang mana hukum yang telah dilanggar itu nyatakan bagi si pelanggar.

Hukuman bagi dosa bukanlah kematian yang pertama, tetapi kematian kedua. Karena itu penderitaan berlarut Yesus di kayu salib sepenuhnya tidak seperti kematian lainnya. Ribuan kriminal disalibkan dengan fisik yang sama seperti Kristus di pakukan ke kayu salib, tetapi mereka hanya mengalami penderitaan badani kematian yang pertama. Dia mengalami penghakiman mengerikan dan perpisahan dari Tuhan yang para pendosa jahat yang tidak bertobat akan rasakan di lautan api. Alamiah-Nya yang sensitif mengalami trauma dengan menggantikan rasa bersalah kejahatan pemerkosaan, pembunuhan dan kekejian lainnya. Ia menjadi mengenal dosa agar murka penuh hukum Tuhan tertimpa ke atasnya dengan cara yang persis sama itu akan menimpa orang-orang yang tidak bersedia diselamatkan.

Tidak ada satupun cara kita dapat menjelaskan penderitaan misterius yang mengelilingi Juru Selamat kita di waktu penutupan hidup-Nya. Dari taman Getsemani Yesus membawa akumulasi dosa manusia dalam hati-Nya yang remuk. Tidak seberkaspun terang diizinkan untuk menembus selimut pengasingan diri-Nya sepenuhnya dari Bapa-Nya di surga. Agar dapat menggantikan tempat para pendosa dan untuk menyediakan pengampunan, tidak boleh ada perbedaan antara hukuman mereka dengan hukuman-Nya.

Janganlah seseorang mengira bahwa Sang Bapa tidak menderita seperti Putra-Nya. Panjang sabar Tuhan dalam mengizinkan orang jahat untuk menyiksa Putra-Nya sampai kematian adalah bukti utama bahwa Dia mengasihi kita dengan kasih yang sama seperti Dia mengasihi Yesus. Pilihan yang Ia punya sangatlah mudah. Dia dapat membebaskan Putra-Nya atau Dia dapat membebaskan kita. Tidak ada pilihan lain. Hukum Tuhan telah dilanggar – hukum itu kudus dan sempurna. Sebagai refleksi karakter-Nya itu tidak dapat dirubah ataupun dihancurkan. Hukuman dosa harus dibayarkan. Sang Bapa mengasihi mereka meski telah melanggar hukum-Nya, tetapi Dia juga mengasihi Putra-Nya.

Tengoklah kembali adegan di sekitar salib itu. Tuhan melihat orang-orang jahat tersebut seiring mereka meludahi Yesus dan memukul wajah-Nya dengan tangan mereka. Mereka bahkan tidak layak menyentuh ujung jubah-Nya, tetapi mereka menganiaya Dia sampai kematian. Dia memiliki kuasa untuk menghancurkan berkeping-keping orang-orang kecil tersebut. Dia dapat menyelamatkan Putra-Nya dari ejekan dan pukulan yang kejam, tetapi kalau Dia turut campur tangan tidak satupun manusia akan hidup kembali. Adam, Abraham, Yusuf, Daniel dan setiap keturunan Adam akan binasa selamanya untuk kekekalan. Kebangkitan mereka tergantung sepenuhnya atas kematian dan kebangkitan Putra-Nya yang terkasih. Dalam kemahatahuan-Nya Tuhan pasti mengingat setiap wajah dan nama, bahkan mereka yang belum dilahirkan sekalipun.

Pada kesempatan itu Tuhan berpikir tentang Anda dan saya. Meskipun Dia melihat semua kegagalan kita yang menyedihkan, Dia tetap menginginkan kita berada bersama-Nya untuk kekekalan. Dia tahu bahwa mayoritas besar tidak akan menerima tawaran hidup kekal bersama-Nya, meskipun itu diberikan dengan harga yang dahsyat tak ternilai. Tetapi dia juga tahu bahwa sedikit orang yang akan mengasihi-Nya dan dengan sukacita menerima kematian Putra-Nya sebagai gantinya. Jadi Tuhan berpaling dari Putra-Nya, dan mengizinkan Dia mengalami kematian di bawah beban dosa yang tidak Dia lakukan. Bahkan matahari menyembunyikan wajahnya dari adegan mengerikan tersebut, dan bumi menyatakan gemetarnya. “Sudah selesai,” seru Yesus dan Ia menyerahkan nyawa-Nya. Yohanes 19:30.

Harga penebusan telah dibayar. Apakah itu terlalu mahal? Bagi jutaan orang itu adalah investasi kosong, sebuah pengorbanan sia-sia. Mereka memandang sepele seluruh transaksi itu dan menolaknya. Tetapi bagaimana dengan Anda? Sekarang Anda melihat sedikit lebih jelas apa harganya, apakah Anda menanggapi investasi yang Dia buat demi keselamatan kita?

Sejauh ini kita berfokus pada pandangan luar biasa pendamaian – bagaimana itu disediakan bagi setiap pria, wanita dan anak-anak yang pernah hidup. Penekanan ini tidak seharusnya menyembunyikan aspek pribadi yang dahsyat dari apa yang telah Dia lakukan. Kualitas kasih yang membawa Yesus kepada kematian-Nya di kayu salib sedemikian besarnya sehingga Dia tetap akan membuat pengorbanan yang sama meski hanya untuk satu jiwa sekalipun. Saya perlu mengingatkan diri saya sendiri setiap hari bahwa Tuhan bukan hanya “begitu mengasihi dunia” ini, tetapi Dia juga begitu mengasihi saya, sehingga Dia menyerahkan Putra-Nya. Hikmat dari seluruh rencana keselamatan ada di sekitar aplikasi kematian-Nya pada tiap pribadi.

Kasih Kristus bagi manusia secara berulang kali di nyatakan dalam Alkitab. Kita melihatnya dalam bagaimana dia meluangkan waktunya untuk sebuah pribadi. Beberapa arahan rohani-Nya yang penting disampaikan pada individu pribadi. Kita juga melihatnya dalam perjalanan berbahaya yang Dia buat menyebrangi lautan untuk menyelamatkan orang kerasukan roh jahat di Gerasa. Itu menghabiskan dua hari penuh waktu-Nya yang berharga untuk menyebrangi danau dengan badai tersebut dan kembali. Hanya satu orang yang secara langsung dihubungi selama wisata tidak menyenangkan tersebut, tetapi orang tersebut kemudian memalingkan seluruh penduduk daerah tersebut kepada Juru Selamat.

Kita harus melihat percakapan Yesus dengan Nikodemus, si kusta dan si pelacur, dan si pemungut cukai yang dikucilkan sebelum kita dapat memahami nilai satu jiwa. Dia meluangkan waktu bersama orang-orang, tidak peduli posisi atau kekayaan mereka. Wanita dari Samaria itu adalah salah satu contoh karakter lain memalukan dalam masyarakat, di mana Kristus mengambil kesempatan untuk berbicara dengan dia, di mana akhirnya merubah hidupnya seratus delapan puluh derajat.

Tidak diragukan Yesus melihat pada tiap orang sebagai seorang kandidat penerima hidup kekal. Kalau tidak bagaimana kita dapat menjelaskan hubungannya dengan Simon, Zakheus, dan Maria Magdalena? Dia melihat pada setiap jiwa potensi mulia memantulkan karakter-Nya sendiri yang kudus dalam hidup ini dan kekekalan. Dia melihat di sana alasan inkarnasi-Nya. Tiap jiwa adalah yang harus Ia datangi untuk ditebus. Itu adalah wajah-wajah yang terlintas di pikiran-Nya saat Dia tergantung di kayu salib, menguatkan Dia untuk mengeringkan cawan penderitaan.

Salah satu pernyataan yang paling mengejutkan dalam Alkitab tentang pendamaian ditemukan dalam Ibrani 12:2: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”

Bagaimana bisa pengalaman di kayu salib memiliki sukacita yang berhubungan dengannya? Kita diberitahu bahwa ada motif penuh sukacita menguatkan Dia untuk menanggung malu dan penghinaan penyaliban. Apa “sukacita yang disediakan bagi Dia”? Di sinilah terletak rahasia penyangkalan diri-Nya. Dia melakukannya dalam kekuatan sukacita pengharapan membukakan lebar-lebar pintu Surga, mengucapkan selamat datang pada kita dalam kerajaan-Nya yang kekal. Itu adalah kasih bagi kita, dan kerinduan untuk boleh bersama kita sepanjang kekekalan yang membawa-Nya bertahan dari sesuatu yang tidak mungkin dapat ditahan. Di sinilah jaminan positif bahwa Dia memikirkan tentang Anda dan saya seiring Dia mengalami kekejaman memilukan di kayu salib.

Apakah satu jiwa berharga tak terbatas sedemikan rupa? Dalam terang kekekalan, jawabannya adalah iya. Pikirkanlah fakta menakjubkan bahwa satu jiwa yang ditebus akan hidup lebih lama dari semua jumlah umur total populasi di bumi. Suatu saat nanti di kekekalan, hidup dari satu orang itu akan melampaui jutaan kali umur semua penghuni dunia ini bila dijumlahkan. Dalam pengertian ini , satu orang yang diselamatkan mewakili hidup yang lebih, pencapaian yang lebih, dan pemenuhan yang lebih besar daripada jumlah semua orang yang tersesat. Yesus pastilah mengenali kebenaran itu setiap kali dia memandang wajah seorang pria, wanita, ataupun anak-anak. Bahkan dalam manusia yang paling rusak sekalipun Ia melihat sebuah hidup yang dapat mengabadikan kasih-Nya lebih dari waktu yang pernah ada.

Dengan melihat seberkas harga sejati Kalvari, bagaimana bisa seseorang memandang rendah misi-Nya ke planet bumi ini? Anda mungkin dapat menjadi jiwa tersebut yang akan menjadi seorang saksi kekal atas kasih karunia dan kemurahan Juru Selamat kita. Tidak pernah ada pengorbanan sedemikian besar diberikan. Dengan sebuah langkah kecil iman kita dapat menukar hak lahir yang mengandung kematian dari Adam yang pertama untuk kekayaan yang tidak terselami dari Adam yang kedua. Dalam momen penyerahan dan penerimaan kita mulai berbagi hidup yang hanya layak Dia terima, karena Dia bersedia menanggung dosa, penghakiman dan kematian yang layak kita terima. Sungguh sebuah pertukaran luar biasa! Itu akan menjadi tema yang tidak pernah habis menjadi pembelajaran kita sepanjang kekekalan. Dan seiring waktu berlalu, kita akan terus mendapat sesuatu wawasan yang baru mengenai kasih pendamaian dan pengorbanan-Nya. “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu.” Ibrani 2:3. Keselamatan besar itu? Keselamatan sangat besar itu! Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu karena sungguh tiada yang lain. Terimalah sekarang keselamatan itu yang berharga sedemikian mahal tak ternilai. Jangan abaikan itu dengan menunggu kesempatan yang lain.

Free Bible School

Bible School
Enroll in our Free Online Bible School Today!
Start your first lesson now!


Christian Hymns



Freebie!

Ultimate Resource
Request your free book, Ultimate Resource, today and learn how to study the Bible
Get It Now!


Back To Top